Kewenangan publik yang gariskan dalam UU No.32 tahun 2002 tentang
Penyiaran harus dikembalikan secara utuh. Revisi UU Penyiaran diharapkan
bisa meluruskan kembali hakiki dari UU hasil reformasi 1998 lalu. “Kami
ingin kewenangan KPI Pusat dan KPI Daerah sesuai dengan roh
Undang-undang Penyiaran. Karena itu, kami ingin publik mendukung dan itu
merupakan harapan besar kami,” tegas anggota KPI Pusat, Judhariksawan,
di depan peserta dialog publik dengan tema “Penguatan Peran KPI sebagai
Regulator Penyiaran dalam Revisi UU Penyiaran” di Losari, Makassar,
Kamis, 17 Februari 2011. Sebelumnya, Judha menceritakan, UU Penyiaran
terlahirkan karena gejolak pergerakan reformasi.
UU ini merupakan bentuk
perlawanan dan pelepasan dari rezim otoritarian. Ketika UU ini belum
ada, penyiaran di tanah air dikuasai oleh rezim penguasa pada saat itu.
“Undang-undang ini sebagai wujud dari sebuah demokratisasi,” katanya.
Dalam perjalanannya setelah dilahirkan pada 2002 lalu, UU ini ternyata
belum bisa sepenuhnya diterima oleh sisa-sisa rezim otoritarian. Menurut
Judha, banyak cara dari kalangan tersebut untuk melawan dan berupaya
mengkerdilkan kewenangan KPI. “Karena itu, kita harus mengawal proses
revisi yang saat ini sudah mulai berjalan di DPR.” Pandangan yang sama
juga disampaikan anggota KPI Pusat bidang Perizinan, Iswandi Syahputra.
Ketika orde baru, posisi publik selalu tertekan oleh kepentingan
penguasa ataupun industri. Mestinya antara publik, pemerintah dan
industri, posisinya sejajar. Selain itu, antar mereka tidak saling
mendominasi. Lebih dalam, Iswandi menjelaskan, faktor-faktor ataupun
alasan mengapa industri penyiaran harus di tata. Menurutnya, media
penyiaran menggunakan medium frekuensi. Adapun frekuensi adalah sumber
daya alam (SDA) terbatas dan merupakan milik publik. Kemudian, melalui
frekuensi, isi siaran dapat dinikmati (diakses) publik secara gratis
(free to air). Selain itu, media penyiaran memiliki kemampuan
mempengaruhi, mengarahkan, membentuk dan menentukan opini publik. Pada
gilirannya, kata Iswandi, media penyiaran memiliki kemampuan menciptakan
kebutuhan palsu melalui mekanisme yang disebut Kellner sebagai the
logic accumulation. Secara garis besar, Iswandi menjelaskan perihal
prinsip penataan industri penyiaran yakni dari publik, oleh publik dan
untuk publik. Hakekat dasarnya, urusan publik diatur oleh lembaga
publik. Di dalam UU Penyiaran tahun 2002, KPI merupakan lembaga negara
independen yang merupakan perwujudan serta masyarakat dan mewakili
publik serta mengurusi hal-hal soal penyiaran. Sayangnya, fakta yang ada
justru berbeda. Dalam makalah yang disampaikan Iswandi diterangkan jika
kewenangan tersebut banyak dipangkas oleh aturan yang ada di bawah UU
tersebut. Dalam konfigurasi regulasi tersebut, KPI hanya aksesoris
pelengkap keindahan palsu bagi demokrasi penyiaran. “Karena itu, revisi
UU ini harus menjadi kesempatan kita untuk kembali merebut kewenangan
tersebut. Mari bung rebut kembali,” katanya bersemangat. Red/RG sumber :
http://www.kpi.go.id/
Senin, 02 Juli 2012
Revisi UU Penyiaran: Mengembalikan Seutuhnya Wewenang Publik
Diposting oleh
RADIO SUARA WARGA KEDUNGREJO NGANJUK
di
01.00
0 komentar
Posting Komentar