Namun, sayang Rancangan Undang Undang (RUU) Konvergensi Telematika yang sekarang sedang dibahas pemerintah mempersulit para penggiat radio komunitas untuk memanfaatkan peluang perkembagan teknologi telematika. Dalam draft RUU Konvergensi Telematika, radio komunitas yang menayangkan siarannya secara streaming di internet masuk dalam kategori penyelenggara telematika aplikasi penyebaran konten dan informasi.
Dalam RUU itu disebutkan bahwa setiap penyelenggara telematika harus mendapatkan izin dari menteri dan membayar Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) Telematika. Bagi radio komersial yang berorientasi profit dan juga berafiliasi dengan media
konglomerasi, ketentuan ini mungkin tidak menjadi sebuah persoalan besar. Namun, bagi radio komunitas ketentuan ini bisa jadi menjadi persoalan yang serius.
Pilihan untuk menayangkan siaran radio komunitas secara online bukan saja untuk memperluas jangkauan pendengar, namun juga untuk menghemat biaya operasional. Namun, jika itu kemudian harus dikenakan kewajiban membayar BHP telematika, tentu akan membuat daya hidup radio komunitas semakin lemah.
Tekanan yang lebih besar lagi menimpa para penggiat radio komunitas yang memilih untuk melakukan siaran secara konvensional (menggunakan spektrum frekuensi radio) dan online melalui streaming di internet. Karena mereka harus mendapatkan dua izin dari menteri.
Izin penggunaan spektrum frekuansi radio dan ijin penyelenggara telematika. Selain itu, mereka juga harus membayar Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) telematika dan Biaya Hak Penggunaan (BHP) spektrum frekuensi radio. Prakatis hanya radio milik konglomerat media yang bisa memenuhi ketentuan dari RUU ini.
Terkait dengan hal itulah, SatuDunia sebagai organisasi yang concern pada isu telamtika mendesak pemerintah untuk meninjau ulang substansi RUU Konvergensi Telematika ini. Pemerintah harus lebih mendengar dan memperhatikan kepentingan
publik secara lebih luas, bukan hanya kepentingan industri multimedia.